MAKALAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
PENDAHLUAN
Segala puji bagi Allah
yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan
para pengikutnya yang setia hingga akhir masa.Kaum muslimin sekalian, semoga
Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat
dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik.
Nah, dibangun di atas
kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan
bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek
dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika
orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…”
(QS. Al Hujuraat: 6)
Alhamdulillaah
pada siang hari yang cerah ini di hari jum’at Ya pada hari ini insyaAllah akan dibahas
mengenai apa definisi Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Ya ucapan
ahlus sunnah wal jamaah sering nian kita mendengarnya dan kalau kita baca
beberapa buku-buku islam sering ada tulisan Ahlus Sunnah wal Jamaah, nah
kira-kira apa ya AhlusSunnah wal Jamaah itu? Apakah Ahlussunnah wal Jamaah itu
madzhab Syafii? Atau….Asyi’ariyah atau bahkan seperti ucapan yang katanya
pemersatu Islam dengan kataan ya paling cuma organisasi belaka yang
sama sajalah dengan rafidhoh, murjiah, khwarij,muktazilah, sufiyah, ya Cuma
khilafiyah gak usah diperdebatin panjang lebar, yang penting aqidahnya sama. Ya
daripada bingung dan linglung dan sebelum terkena syubhat dari kaum islam
modernis dan liberalis,
BAB
I
Pemahaman yang Benar dan
Niat Baik
Pada awal risalah ini
kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi
mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar,
yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat
paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.
Bahkan tidaklah seorang
hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat
Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya.
Dengan dua nikmat inilah
hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al
maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan
keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu
orang-orang yang pemahamannya rusak.
Sehingga dengan itulah
dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta
‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik.
Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin,
1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).1
Oleh sebab itu di sini
kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami
persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik
yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah
penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang
baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya
dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini…
Marilah kita ingat sebuah
ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala
macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian.
Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah
pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih
bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)2
Imam Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’
(penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga
menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an).
Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun
makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan
dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya
boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama
salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir
berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu
yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan
pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal
itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka
keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala
keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya
oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran
melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).3
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah
Waljamaah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan
Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam. Lebih jelasnya, Islam adalah
Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus Sunnah Waljamaah itulah Islam. Sedang
golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syiah(Rawafid) dan
lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW yang
berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah
Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam
Syafii dan Imam Hambali. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum
timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Akhirnya yang perlu diperhatikan
adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti
sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak
dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah.
Banyak
orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran
yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak
mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai
pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber
dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih
serta Ijma’ Salafush Sholeh.
PENGERTIAN SALAFUS SHOLEH
A.
Kata Salafus Sholeh Secara Bahasa
sebelum kita melangkah
leih jauh dalm pembahasan mengenai Ahlus sunnah Wal Jama’ah, di hadapan kita
ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian
orang. Istilah yang dimaksud adalah Salafussholeh
kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya
hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid
senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah
membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul
Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah
dengan judul Mengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari,
Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ )
artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf
berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang,
maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]
Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti
generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para
Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga
kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu
masa para Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini
yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya...”[4]
Salaf secara bahasa
artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau
jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf
juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu
yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka
generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih
(pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza,
hal. 30).4 Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat
di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka,
Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami
jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.”
(QS. Az Zukhruf: 55-56).
Artinya adalah: Kami
menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan
perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau
mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi
‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).5
Dengan demikian kita bisa serupakan makna
kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam
kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini
sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.”
(HR. Muslim).
Artinya sebaik-baik
pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah,
hal. 7)6. Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah
salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik
seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat,
dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan
tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya.
Kemudian apabila muncul
pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila
ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka
kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna
antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut
bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah
syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya.
Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai
para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap
kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa
pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara
terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas
bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.”
(lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).7
B. Istilah
Salafus Sholeh di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah
membahas dan menyebut-nyebut kata salafus Sholeh maka yang mereka maksud adalah
salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga
para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang
senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz,
hal. 21).8
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah
menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang
melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun
para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara
beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).9
Syaikh Doktor Nashir bin
Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu
para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang
mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in,
-red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di
sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap
mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).10
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik orang adalah
di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in)
dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Seperti terdapat dalam
sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya
Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim).
Sehingga Rasul beserta
para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang
menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh
manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut
Salaf.
Akan tetapi kriteria yang
benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan
As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun
orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti
dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode
Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan
tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan
mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33
dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).11
C. Contoh-Contoh
Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering
digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan.
Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang
sesudah mereka.”
Syaikh Salim mengatakan,
“Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena
Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang
yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.”
Kata salaf juga digunakan
oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim
mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad)
mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah
bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits
(yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh
Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.”
(Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering
dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya
sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang
berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah
engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap.
Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap
mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena
sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.”
(lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
D. Allah
Meridhai Salafus sholeh dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini
Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa
Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafu Sholeh.
Al Ustadz Abdul Hakim
Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan
sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah
kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla
telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa
jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti
perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai
hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para
Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan
keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).16
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa
keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam)
yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan
surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi
mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140).17
Dan tidak diragukan lagi
bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan
kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul
Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam
Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan
membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai
alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat),
sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…”
E. Pemahaman
Salafus Sholih Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin
Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat
yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan
kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang
yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”.
Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa
kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang
hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah
dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang
diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan
dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan:
(hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah
menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad
(4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan
(1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’
hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,
cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan,
hal. 164).
Di dalam hadits yang
mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan
sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada
sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur
Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur
Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman
dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal.
201).20
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam
adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah
dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau.
Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang
artinya,
Dengan
demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya
jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai
perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin,
I/603).21
Di dalam keterangan
beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan
beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al
Mahdiyyin.
Dan juga termasuk di
dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan
sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar,
‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah,
hal. 203).
Keterangan Syaikh
‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak
dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah
dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus
tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282),22 “Adapun yang
dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka
sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan
perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah
beliau…”
BAB III
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Mereka
yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah,
karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik
atau buruk. Sedangkan menurut ulama
‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang
ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah
yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang
menyalahinya akan dicela.
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
(wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya
berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan),
perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu
generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri
(wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh
(wafat th. 187 H).”
Disebut
al-Jama’ah, karena mereka bersatu
di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di
bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak
mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan
Salaful Ummah.[12]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah
generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta
orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul
di atas kebenaran. [13]
Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th.
665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah
berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah
itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang
dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang
yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[14
“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun
engkau sendirian.”[15]
Selanjutnya
Syaikh Abi al-Fadhl bin 'Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib
al-Lamma'ah:
"Yang
disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman
pada sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan,
amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati". (source: al-Kawakib al-Lamma'ah,
hal 8-9)
Jadi
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang
telah di contohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Ada
tiga prinsip yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
1. al-Tawassuth: sikap tengah-tengah/sedang/ tidak ekstrim
kiri ataupun kanan. Firman Allah SWT:
َوَكذالكَ جَعَلنَاكُمْ اُمّة وَسَطًا لِتكُوْنُوا شُهَدَاءَ
عَلى النـّـــاسِ وَيَكوْن الرّسـُــــــولَ عَليْكمْ شَهيْدًا
"Dan
demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian". (QS. Al-Baqarah, 153)
2.
al-Tawazun: seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan
Dalil 'Aqli dan Dalil Naqli.
3.
al-I'tidal: tegak lurus. Dalam al-Qur'an disebutkan:
"Wahai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela
(kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencianmu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil.
Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah pada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan." (QS. Al-Maidah, 9)
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang
mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena
mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka
mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping
itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang
mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat),
Ghurabaa' (orang asing).
Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:Top of Form
(حديث
مرفوع) أَخْبَرَنَا الشَّيْخُ أَحْمَدُ بْنُ مَسْعُودٍ الْبَغَوِيُّ ،
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَحْمَدَ الْمُلَيْحِيُّ ،
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ النَّعِيمِيُّ ،
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيُّ ،
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ ،
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ ،
قَالَ : حَدَّثَنِي ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي
عُمَيْرُ بْنُ هَانِي أَنَّهُ
سَمِعَ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : " لا تَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ
قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ ، لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلا مَنْ
خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ تَعَالَى وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ "
، قَالَ عُمَيْرٌ : فَقَامَ مَالِكُ بْنُ يُخَامِرَ فَقَالَ : سَمِعْتُ
مُعَاذًا يَقُولُ : وَهُمْ بِالشَّامِ ، هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ عَالٍ مُتَّفَقٌ
عَلَى صِحَّتِهِ ، أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي كِتَابِهِ عَنْ جَمَاعَةٍ
بِطُرُقٍ كَثِيرَةٍ وَأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ ، وَأَوْرَدَهُ مُسْلِمٌ فِي
صَحِيحِهِ عَنْ زُهَيْرِ بْنِ حَرْبٍ وَطَائِفَةٍ أُخْرَى ، كُلِّهِمْ عَنْ
مُعَاذِ بْنِ هِشَامٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، وَابْنِ جَابِرٍ الْمَذْكُورِ فِي
الْحَدِيثِ هُوَ : عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ .
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah,
tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang
menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang
demikian itu.”[16]
Al-Marfu’ menurut
bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat),
dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya
ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah
adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat
yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat
jelas
Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan
al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus
Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits
suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu
merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal
ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah
Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan
dan yang lainnya, [21].
Imam asy-Syafi’i [22] (wafat th. 204 H) rahimahullah
berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat
seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah
memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha
mereka.” [23]
Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H)
rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami
sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah.
Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan
setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih,
kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap
generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka
baik di timur maupun di barat.”[24]
BAB IV
SEJARAH MUNCUL
NYA ISTILAH AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak
generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi
Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
Dalam al-Qur’an Allah Berfirman yang artinya :
106. Pada hari yang di waktu
itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun
orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa
kamu kafir sesudah kamu beriman? karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu
itu".” [Ali ‘Imran: 106]
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [25]
berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:
“Adapun orang yang putih
wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam
wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”[26]
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh
kebanyakan ulama Salaf, di antaranya:
1. Imam asy-Syafi’i [22] (wafat th. 204 H)
rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku
melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan
Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha
mereka.” [23]
2. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131
H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus
Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”
3. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H)
berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan
baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.”[27]
4. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th.
187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan
perbuatan.”
5. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah
(hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan[29] :
“...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman,
perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman
dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui
tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
6. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [30] (hidup th. 164-241 H), beliau
berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi,
ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman
para Sahabat Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini...”
7. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat
th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan
bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan
agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita
yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[31]
8. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi
rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab
‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah
penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita
bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat
ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang
mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis
penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang
benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah
dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta
yang lainnya.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan
tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat
mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits
yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah
(4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah
(2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).32
Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum
Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara
berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah.
Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah
tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan
pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya.
Kelompok inilah yang disebut dengan Al
Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan
ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di
akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi
pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari
kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan
agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah
ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas
kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan
menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela
bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai
bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Firqah-Firqah yang
Menyimpang
Setelah kita mengetahui
bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah
pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah
dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang
adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang
dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan
kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik
adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.
Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah
mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas
Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya:
Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah,
Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan
mereka.
Inilah firqah-firqah sesat dan
kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul
I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90.
Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul
bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di
antara cirinya adalah:
- Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan
Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang
menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
- Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan
mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun
kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
- Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin
agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).33
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan
satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini
intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka
itu adalah:
- Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam
mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan
orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat
maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat
telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat
ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di
antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini.
Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya
- Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham
Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah
tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam
masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap
bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan
dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan
madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman
itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan
amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar
adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
- Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan
pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan
pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang
Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram
1427 hal. 31-36).
- Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat
menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki
kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari
kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah
Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara
mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak,
kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
- Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi
pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya
sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan
ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab
Khawarij.
- Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang
beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi
sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina
manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di
akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang
mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah
tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana
kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham
Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya
tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada
hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut
paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah
anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu
dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian
lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka
tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
- Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang
cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk)
dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
- Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin
Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh
Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah
(yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun
mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa
Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai
usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan
membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali
kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini
yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup,
mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat.
Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan
madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh
Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al
Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak
terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah
sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan
berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah
(atheis) dengan berbagai macam kelompoknya.
Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub
(bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti
contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang
dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya
pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red),
Jama’ah Tabligh
dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini
termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah,
PENUTUP
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan
ulang bahwa Salafus Sholeh artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salafus Sholeh bukanlah pabrik atau
partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan
salah paham.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia
dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah
(golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang
mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’
(orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang
beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR.
Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita
tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita,
ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk
Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan
pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz
dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah
belum? Kalau iya mana buktinya?
Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta
para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan
kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat,
jangan ta’ashshub (fanatik buta).