Here I am

Selasa, 11 Desember 2012

kata-kata motifasi islami



kata-kata bijak


  1. Jika anda menasehatkan sesuatu yang belum pernah anda lakukan, cepat atau lambat anda akan diuji dengan apa yang anda nasehati. Nasehatkan tentang kesabaran, maka kesabaran anda akan diuji.
  2. Orang yang menghindari kesalahan, tidak akan tumbuh.
  3. Nikmatilah setiap proses kehidupan.
  4. Orang lain adalah cermin. Ada dua jenis : cermin baik dan buruk. Cermin buruk, sebaik apapun diri kita, akan tetap memantulkan gambar diri yang bengkok. Itulah mengapa anda perlu bergaul dengan lingkungan yang baik
  5. Budi Pekerti adalah tindakan baik yang didasari oleh tujuan yang baik. Tujuan kemanusiaan dari budi pekerti adalah agar anda berguna bagi sesama.
  6. Jika hidup dan matiku untuk Tuhan, untuk saya apa? Anda dapat apa yang Tuhan miliki.
  7. Kebesaran orang bukan ditentukan oleh besar kecil tubuhnya, melainkan besar kecil hatinya.
  8. Tidak mungkin ada dua benda dalam satu ruang. Pilih apa yang hendak anda masukkan ke hati anda : kebaikan atau kejahatan?
  9. Hadiah pertama bagi orang yang melakukan kebaikan adalah kebaikan.
  10. Penampilan terbaik dari seseorang adalah penampilan yang mewakili hati yang baik.
  11. Manusia terindah adalah manusia yang bermanfaat untuk saudaranya.
  12. Bagi pribadi yang tidak waspada dan tidak bersikap baik, dia bahkan akan menipu dirinya sendiri di hadapan pribadi yang mulia dan jujur kepadanya.
  13. Harus datang akhir dari masa di mana orang mengambil keuntungan dari mengatakan dan melakukan yang tidak jujur kepada kita dan kepada mereka yang kita cintai.
  14. Segala yang kita lakukan tidak ada yang tidak beresiko. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Ada beberapa panduan menyikapi resiko.
  15. * Resiko tidak seharusnya membuat kita ciut nyali, namun tidak seharusnya juga menjadikan diri sebagai orang yang tidak takut dosa.
  16. * Memilih sebuah hubungan adalah menerima resiko, cerminan diri kita dapat dilihat dari perilakunya terhadap kita.
  17. * Resiko seharusnya dapat membuat kita menjadi orang yang lebih baik.
  18. * Berfokuslah pada apa yang berani kita lakukan, hasilnya kita serahkan kepada Tuhan.
  19. Jangan paksa orang untuk berubah. Berubah itu sulit. Berkasih sayanglah.
  20. Perubahan itu tidak mudah, terutama untuk memperbaiki kualitas hidup.
  21. Inginkanlah yang mudah, tetapi jangan lupakan keharusan mu untuk menjadi lebih kuat. Bukan pemberian yang mudah yang akan memudahkan hidup mu, tetapi kemampuan yang menjadikan mu pantas bagi semua pemberian besar – yang tidak mudah untuk didapat itu, yang akan menjadikan mu penegak kehidupan yang berjaya.
  22. Lebih mudah meneruskan apa adanya, walau pun tidak mudah hidup dalam kesulitan. Maka jangan ganggu dia yang sulit berubah, walau pun itu untuk kebaikannya sendiri. Biarkanlah dia mengutamakan yang mudah sekarang, karena dia tidak keberatan dengan kesulitannya.
  23. Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri lebih mudah untuk merasa sedih dan tidak berguna.
  24. Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan.
  25. Kasih sayang itu sederhana. Tetapi, tidak sederhana perannya dalam mencantikkan kehidupan kita. Marilah kita mengikhlaskanlah diri untuk mengasihi pasangan kita sepenuhnya.
  26. Jika kita sedang benar, jangan terlalu berani dan bila kita sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan kita.
  27. Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memilik waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan.
  28. Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
  29. Kita hanya dekat dengan mereka yang kita sukai. Dan seringkali kita menghindari orang yang tidak tidak kita sukai, padahal dari dialah kita akan mengenal sudut pikiran yang baru.
  30. Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.
  31. Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi pencapaian kecemerlangan hidup yang diidamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan.
  32. Jangan menolak perubahan hanya karena kita takut kehilangan yang telah dimiliki, karena dengannya kita merendahkan nilai yang bisa kita capai melalui perubahan itu.
  33. Kita tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila kita berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama kita. Kita akan disebut baru, hanya bila cara-cara kita baru.
  34. Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan. Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap kita tepat, dan tidak ada yang bisa menolong bila sikap kita salah.
  35. Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda.
  36. Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Maka, bila merasa takut, kita akan punya kesempatan untuk bersikap berani.
  37. Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.
  38. Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian kita dapat.
  39. Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku seperti orang yang terus memeras jerami untuk mendapatkan santan.
  40. Bila kita belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat kita, bakatilah apapun pekerjaan kita sekarang. Kita akan tampil secemerlang yang berbakat.
  41. Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
  42. Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan.
  43. Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,kita akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin kita capai.
  44. Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.
  45. Bila kita mencari uang, kita akan dipaksa mengupayakan pelayanan yang terbaik. Tetapi jika kita mengutamakan pelayanan yang baik, maka kitalah yang akan dicari uang.
  46. Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi orang tua yang masih melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat muda.
  47. Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.
  48. Kita lebih menghormati orang miskin yang berani daripada orang kaya yang penakut. Karena sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa depan yang akan mereka capai.
  49. Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin,anda akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin anda capai.
  50. Waktu ,mengubah semua hal, kecuali kita. Kita mungkin menua dengan berjalanannya waktu, tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus mengubah diri kita sendiri.

Senin, 10 Desember 2012

ILMU HADITS : DEFINISI HADITS MARFU’

ILMU HADITS : DEFINISI HADITS MARFU’


5 Votes

 HADITS MARFU’

Definisi
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).

Macam-Macamnya
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.

Contohnya
  • Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
  • Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
  • Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
  • Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
  • Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
  • Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
  • Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
  • Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.

BIOGRAFI ABUL HASAN AL ASY'ARY SAMPAI MENJADI SALAFY

BIOGRAFI ABUL HASAN AL ASY'ARY SAMPAI MENJADI SALAFY

Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang Imam bernama Al Imam Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy'ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat

MENGENAL ABU AL HASAN AL ASY'ARI -rahimahullah-

Penyusun : Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan al Bykazi

Nama Beliau

Beliau bernama 'Ali bin Isma'il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma'il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy'ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy'ary.

Kelahiran Beliau

Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu'tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.

Riwayat Hidup Beliau

Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al Jubba'i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur'an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.

Abu al Hasan al Asy'ary dan Mu'tazilah

Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu'tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu'tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu'tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu 'Ali al Jubba'i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu'tazilah.

Inti ajaran faham Mu'tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang "qath'i" dan sesuatu yang qath'i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu'tazilah menolak ajaran al Qur'an apalagi as Sunna yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu'jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adaya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah,

sesuai dengan firman Allah :
Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu'jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu'jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.

Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur'an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya :

(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)

untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah.

Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ?

Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?

itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy'ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham mu'tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.

DIALOG BELIAU DENGAN AL JUBBA'I

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba'i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta'lilkan atau tidakl. Faham Mu'tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita'lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba'i

Al Asy'ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba'i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : anak kecil tidak akan masuk neraka
A : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : tidak, karena tidak pernah berbuat baik
A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.
A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.

===Abu Ali Al Jubba'i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan===


Abu al Hasan al Asy'ary Pencetus Faham Asy'ariyah


Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu'tazilah, pada mulanya cetudan pendapat Abu al Hasan sedikit banyak dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu'tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional.

Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur'an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta'wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.

Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy'ary dalam bidang aqidah menurut pengkuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur'an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql.

Hal ini terbukti masih menggunakan penta'wilan terhadap ayat-ayat Al Qur'an tentang sifat-sifat Allah, misalnya: yadullah diartikan kekuatan Allah, istiwa-u Llah dikatakan pengasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyinmpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan "Dua puluh Sifat Allah". Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.

Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami'un bi sam'in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.

Ketika ditanyakan :"Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?"

Jawabannya: "Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti 'maha' sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa." Kalau demikian seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada Allah akan mempunyai arti Maha.

Abu Al Hasan Al Asy'ary -rahimahullah- Menjadi SALAFY


Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang Imam bernama Al Imam Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy'ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat.

Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku "Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah" merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama'ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:

1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.

2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.

3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.

Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
2. Menafsirkan ayat dengan hadits
3. Menafsirkan ayat dengan ijma'.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta'wilkan kacuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.

Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy'ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A'lam.
Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim, As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992