Here I am

Selasa, 22 Juli 2014

Menggapai Lailatul Qodr

Saat Ramadan, umat Islam akan menjumpai satu malam yang berisi banyak keutamaan. Jika beramal di dalamnya, akan mendapat kebaikan melebihi kebaikan seribu bulan. Malam itu disebut "Lailatul Qadr". Setiap muslim berlomba menjumpainya.
Ilustrasi tentang malam yang dinamakan Malam Kemuliaan atau Kepastian dapat ditemukan dalam Alquran di surat Al-Qadr, yang artinya sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam itu lebih baik dari seribu bulan." (Q, 97: 1-3)
Muhammad Quraish Shihab, penulis buku "Wawasan Al-Quran," mengatakan, Lailatul Qadr memiliki tiga makna. Pertama, penetapan dan pengaturan.
Penetapan dimaknai sebagai malam penetapan bagi perjalanan hidup manusia. Sedangkan pengaturan, malam di mana Allah mengatur turunnya Alquran dan menuntun Nabi Muhammad untuk mengajak umat manusia menuju jalan Allah.
Kedua, kemuliaan, yaitu malam yang menjadi tititk tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih manusia. Keempat, bermakna malam yang sempit, karena menjelaskan ringkasnya waktu malaikat yang turun ke bumi untuk menebar rahmat Allah.
Malam Lailatul Qadr berbeda dengan malam lain. Keutamaan malam ini, selain hanya ada pada bulan Ramadan, Allah akan melipatgandakan pahala bagi hamba yang beribadah di malam itu. Itulah sebabnya, kedatangan Lailatul Qadar sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Kapan tepatnya Lailatul Qadr tiba?
Menurut sebagian ulama, sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid dalam "30 Sajian Ruhani," Lailatul Qadr jatuh bertepatan dengan malam ke-17 Ramadan. Padangan semacam itu terkait dengan terjadinya Perang Badar. Perang pertama yang terjadi dalam sejarah Islam itu oleh Al-Quran dinamakan "Perang Pembeda", yakni pembeda antara pasukan Muhammad dan golongan musyrik dan kafir.
Ada pula yang menyebut kedatangannya pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan, terhitung pada malam ke-21-29 Ramadan. Penetapan ini terakit dengan makna bahwa 10 hari terakhir di bulan Ramadan merupakan hari-hari dibebaskannya hamba Allah dari api neraka ('itqun min al-nâr).
Apapun perbedaan penetapan itu, Lailatul Qadr yang memiliki nilai seribu bulan, sebenarnya lebih tepat dipahami terkait dengan dengan makna kesiapan ruhani untuk melakukan apa saja atau berkurban. Di antaranya, dengan menjalankan ibadah puasa secara benar.
Kemudian, menjelang datangnya Lailatul Qadar, seperti ajuran Rasulullah SAW, hendaknya memperbanyak shalat malam, berzikir, menghiasi diri dengan akhlak mulia, berbuat aneka kebajikan sosial. Tak kalah pentingnya, merenung dalam rangka mengintrospeksi diri.
Seperti disabdakan dalam sebuah hadis yang berbunyi: "Barang siapa berpuasa karena keimanan kepada Allah dan melakukan perhitungan kepada diri sendiri, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan, evaluasi diri menjadi pertimbangan utama bagi kualitas jiwa seseorang. Tanpa perenungan, sulit rasanya keajaiban Tuhan datang, karena orang yang tidak mau mengoreksi diri adalah indikasi hati yang tertutup oleh kesombongan diri. Sombong karena merasa dirinya paling benar dan suci.
Di sinilah kiranya, menantikan datangnya Lailatul Qadr dapat dihubungkan dengan sikap taubat atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Di dalamnya harus ada kerendahan hati dan ketulusan. Biasanya, cara yang ditempuh untuk mengikisnya melalui iktikaf di malam hari: meluangkan waktu untuk berkomtemplasi dan merenungi keberadaan diri.